KEBERAGAMAN SATRA LOKAL
Sebagai masyarakat multietnik, Sulawesi Tenggara memiliki kekayaan sastra local yang memperlihatkan kekhasan yang berbeda antara etnik satu dengan yang lainnya. Sastra local seperti dongeng, mitos, mantra, sejarah dan nyanyian rakyat tersebar merata di berbagai etnik yang ada di Sulawesi Tenggara. Pada etnik Tolaki, terdapat sastra local seperti Huhu (lagu menidurkan anak), O Anggo (lagu rasa kagum terhadap pemimpin, Taenango (lagu kisah kepahlawanan), Sua-Sua (laggu rasa ingin berkenalan), Kabia (lagu percintaan), tebaununggu (lagu berisikan satra sejarah) dan isara (lagu tentang perang dewa-dewa). Demikian pula pada Etnik Buton dijumpai sastra lisan seperti Kabanti (nyanyian rakyat), Male-Male (nyanyian kematian), Kabija (puisi anak, Kantola (nyanyian berbalas),dan pembacaan kabanti naskah.
Sejumlah sastra lisan di atas hanya sebagian kecil dari keanekaragaman sastra lisan di Sulewesi Tenggara. Semua kelompok masyarakat memiliki kekayaan sastra lisan yang berbeda antara yang satu dengan yang lain.Cerita Rakyat Tujuh Bidadari dijumpai di semua etnik di Sulawesi Tenggara bahkan di wilayah lain di Indonesia. Demikian pula dengan cerita rakyat Sawerigading yang dijumpai di hampir semua wilayah di Selawesi Tenggara. Walau satu cerita rakyat dijumpai di beberapa wilayah, tetapi cerita rakyat itu akan dituturkan dalam pengisahan yang berbeda-beda.
Hal tersebut disebabkan oleh usaha pencerita yang melokalkan cerita rakyat yang pernah diingatnya sehingga tampak menjadi berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Sastra lokal tidak sekedar berfungsi sebagai hiburan yang mengedukasi pendengarnya. Lebih dari itu, sastra lokal dapat didayagunakan sebagai mata tambang baru bagi penggiat kesenian.
Mukhlis PaEni (Ketua Lembaga Sensor Film/ LSF) saat kegiatan Revitalisasi Budaya Melayu (2012) di Tanjungpinang (kepulauan Riau) menyatakan kekayaan sastra lokal itu merupakan deposit kebudayaan yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber-sumber ekonomi kreatif. Artinya sastra lokal dapat dikemas, dikreasi, dan ditransformasi menjadi karya karya kreatif yang menghibur, mengedukasi, dan sekaligus menjadi sumber ekonomi baru bagi pegiatnya.
Pendayagunaan deposit kebudayaan sebagai sumber ekonomi dikatakan tidak akan pernah habis sebagaimana pendayagunaan pertambangan alam di Indonesia.
POTENSI EKONOMI KREATIF
Pada masa kekinian, keragaman sastra lokal yang ada di Sulawesi Tenggara dapat didayagunakan sebagai bahan baku penciptaan karya karya kreatif yang menarik masyarakat untuk menikmatinya. Cerita Rakyat Sulawesi Tenggara dapat dialihmediakan sebagai bahan baku penulisan puisi, seni pertunjukan (tari drama, dan musikalitas puisi), pembuatan film, dan karya kreatif lainnya. Selain sastra lisan, naskah tertulis (naskah kuno) yang ada pada masyarakat Buton seperti Bulo Malino "bulan yang terang", Ajonga Inda Malusa, Kanturuan Mohelana "Pedoman bagi orang berlayar", dan Wa Iyati dapat di transformasi menjadi pertunjukan tari, monolog bahkan film.
Pentransformasian naskah kuno menjadi pertunjukan monolog telah dilakukan oleh beberapa seniman. Beberapa contoh pentransformasian naskah kuno ke dalam pertunjukan misalnya pada naskah Babad Diponegoro yang ditulis Pangeran diponegoro di tempat pembuangannya di Sulawesi Utara. Naskah itu menarik perhatian Landung Simatupang yang kemudian mementaskannya dalam pertunjukan monolog yang didukung peralatan panggung yang menarik. Abdul Rozak Zaidan (2014) menyebutkan Naskah yang mengalami "metamorfose" itu hadir di depan kita di layar kaca dalam bentuk cakram yang siap tayang, kapan dan di mana saja kita menghendakinya. Babad Diponegoro juga telah dipentaskan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta dengan menempatkan Iwan Fals sebagi dalang.
Selain Babad Diponegoro, Robert Wilson dari Amerika Serikat mentransformasi naskah I laga-ligo menjadi pertunjukan teater. Hasil transformasi dipertunjukkan di banyak negara. Untuk satu kali menyaksikan pertunjukan, penonton menyiapkandana yang lumayan besar. Artinya, semakin sering mempertunjukkan I Laga-Ligo, akan semakin besar keuntungan material yang diperoleh pihak yang terlibat dalam pentransformasian naskah tersebut. Bagaimana dengan naskah-nskah kuno di Sulawesi Tenggara?
Para pegiat kesenian di Sulawesi tenggara telah berusaha menuju pentransformasian sastra lokal. Cerita rakyat Wandiu-diu oleh Irianto Ibrahim telah ditransformasikan menjadi pertunjukan drama. Cerita Wandiu-diu juga telah dipentaskan di taman budaya oleh sekelompok pegiat kesenian di kota Kendari. Demikian pula halnya Trisman Ballagi yang mentransformasikan salah satu cerita rakyat daerah Muna menjadi tari yang menawan. Cerita Rakyat tentang Bajak laut bernama la Bolontio juga telah berkali-kali didayagunakan menjadi pementasan drama yang menarik. Pentransformasian Cerita Rakyat menjadi tari, drama, atau film menjadikan penonton menikamati cerita dalam penyampaian yang berbeda dari penyampaian sebelumnya.
Oleh: Asrif (Peneliti Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara)
Sumber: Kendari Pos, Jumat 13 Januari 2015.
0 komentar