Sore itu menjadi
perjalanan pertamaku kembali ke Tangerang setelah setahun lalu lulus dari salah
satu Perguruan Tinggi Kedinasan di daerah Pondok Aren. Perjalanan Kali ini
bukanlah untuk kuliah melainkan untuk melakukan pemberkasan sebagai syarat
administrasi menjadi pegawai Kementerian Negara. Pemberkasan ini menjadi tahap
lanjutan setelah melewati tes online sebulan sebelumnya. Perasaan bahagia tentu
tersirat dari wajahku. Akan tetapi ada satu hal yang selalu membayangi
pikiranku, terkait jodoh yang tak kunjung bertemu. Terlebih lagi ketika nanti
menjadi pegawai Kementerian Negara, aku diharuskan bersedia ditempatkan di
seluruh wilayah Indonesia dan bersedia dipindahtugaskan antarwilayah Indonesia
dalam jangka waktu tertentu. Harapanku untuk bertemu dengan jodoh dari pulau
kelahiran yang sama sepertinya semakin terhambat. Entah kenapa pikiranku mulai
memunculkan kekhawatiran kekhawatiran yang akhirnya menjadi satu titik
renunganku selama perjalanan. Akupun berdoa kepada Allah SWT agar didekatkan
dengan jodoh terbaik untuk menyempurnakan separuh agamaku. Renungan demi
renungan akhirnya mengantarkanku tidur terlelap dalam perjalanan kereta api
Surabaya – Jakarta.
Keesokan
paginya aku bertolak dari stasiun Pasar Senen (Jakarta Pusat) menuju Tangerang
dengan bus antarkota. Sekitar jam 10 pagi aku tiba di tempat kosku saat masih
kuliah. Yups, menumpang untuk sementara waktu. Selang dua hari, aku pindah kos
di Jakarta Pusat, tak jauh dari tempat pemberkasan. Tepat pada hari itu juga,
aku beserta teman seangkatan melaksanakan pemberkasan di daerah Rawamangun. Di
akhir kegiatan, ketua angkatan menginformasikan bahwa kami diwajibkan mengikuti
kegiatan Induction Program sebagai
pengenalan Instansi dan On The Job
Training (OjT) yang sering dikenal dengan magang. Kedua kegiatan ini
berselang satu minggu. Akupun memanfaatkannya untuk bersilaturahmi ke tempat
kos adik kelasku di organisasi keislaman sekitar kampus.
Ketika
tiba di tempat kos daerah Pondok Safari, aku disambut dengan sangat ramah oleh
Rizki, adik kelasku itu. Kami bercerita segala hal yang terjadi selama setahun
tak bertemu. Hingga Akhirnya, dia melontarkan pertanyaan yang mengagetkanku.
“ Mas, kapan nih rencana nikah? ”
tanyanya.
Spontan aku terlihat kebingungan
untuk menjawab.
“ Hmm... Insyaallah kalau sudah
waktunya akan dipertemukan dengan jodoh,” jawabku
“ Iya... tapi kan mesti ada rencana
waktu menikah? “ Rizki semakin mendesak.
“ Kalau sudah dipertemukan dengan
jodoh, insyaallah disegerakan. Bisa tahun depan, dua tahun kemudian... Rencana
waktu nikah insyaallah di umur 25–27 tahun.” Paparku.
Rizki mulai membahas hal hal
serius. Seakan mengintrogasiku terkait nikah. Berbagai hal dia tanyakan. Dan
Akhirnya muncul kembali ucapan yang sangat mengagetkanku, lebih mengagetkan
daripada sebelumnya.
“Mas, ada loh temenku di keputrian
yang karakteristiknya seperti karakteristik calon istri yang mas Cahyo
harapkan. Mau aku kenalkan?” ungkapnya.
Seketika akupun terdiam. Tak mampu
mengeluarkan sepatah kata untuk menjawabnya.
“Dia baik loh mas, baik akhlaknya,
baik parasnya, baik ilmu agamanya, baik segalanya, insyaallah pantas dengan mas
Cahyo.” tambahnya.
Aku mencoba untuk mengambil
keputusan, tetapi tak berhasil melakukannya. Didesak sekuat apapun oleh Rizki,
tetap saja aku tak mampu memutuskan saat itu juga. Hingga akhirnya percakapan
ini pun terhenti saat memasuki waktu maghrib. Usai sholat berjamaah, aku
langsung berpamitan. Di tengah perjalanan aku kembali merenung, apakah ini
jawaban Allah SWT terkait jodohku. Seorang perempuan bernama Rahma yang
dikenalkan Rizki dengan karakteristik yang katanya sesuai dengan harapanku.
Kembali kupanjatkan doa, “Jika memang benar Rahma adalah jodoh terbaik yang
engkau pilihkan untukku, dekatkanlah kami ya Allah”. Malam itu seakan
memberikanku semangat baru untuk menemukan jodoh.
Sejak
saat itu, aku mulai serius memikirkan jodoh. Memang sudah waktunya pria
seumuranku untuk merencanakan pernikahan. Selama On The Job Training (OJT) aku sering menggali pengalaman dari
teman-teman yang sudah menikah. Salah satunya bernama Akhmad. Dia memberikan
saran dan nasehat yang sangat luar biasa. Satu hal yang paling aku ingat dari
nasehat Akhmad saat aku menemui keraguan dalam hatiku, “Saran saya, sholat
Istikharah, mantabkan hati, insyaallah dengan istikharah bisa yakin, tidak ragu
lagi. Kalau memang dia, lanjut ta’aruf-khitbah-nikah. Kalau bukan dia, menjauh
saja lebih baik”. Setiap menemui hambatan, Akhmad selalu memberi solusi tepat
yang mampu menenangkan diriku.
Selang beberapa bulan,
akhirnya aku memantabkan niatku untuk melanjutkan ke tahap ta’aruf. Kuajaklah
Rizki dan Akhmad bersilaturahmi ke rumah orangtua Rahma. Alhamdulillah dengan
niat yang tulus, akhirnya aku menyampaikan maksud kedatanganku untuk mohon izin
ta’aruf dengan Rahma. Orangtuanya menyambut maksudku itu dengan senang hati. Akan
tetapi, muncul kendala saat memohon izin kepada orangtuaku. Keduanya agak
keberatan merestui niatku untuk menikah dalam waktu dekat mengingat kakak
perempuanku masih belum berkeluarga. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya
orangtuaku merestui kami untuk berta’aruf. Aku dan Rahma akhirnya melakukan
tahap ta’aruf sekitar 6 bulan. Tepat tiga hari setelah Idul Fitri, Orangtua
kami berdua bertemu di rumah Rahma untuk melakukan khitbah sekaligus
merundingkan rencana pernikahan kami. Awalnya direncanakan pada bulan
dhulhijjah. Akan tetapi, dengan pertimbangan waktu pengangkatan pegawai
Kementerian Negara yang semakin dekat, akhirnya kami sekeluarga sepakat untuk
melangsungkan pernikahan di bulan syawal.
Alhamdulillah,
pernikahan kami berlangsung lancar. Kami sangat bersyukur atas izin Allah SWT
yang telah mempertemukan kami dalam ikatan pernikahan. Kami semakin yakin bahwa
Allah SWT akan menolong hambanya yang sungguh sungguh dalam berusaha. Ternyata
kekhawatiran yang muncul saat menjelang pemberkasan itu tidaklah terjadi.
Berdoa, berusaha, dan bertawakal kepada Allah SWT insyaallah akan dimudahkan untuk meraih apa yang kita harapkan.
NB: Tulisan ini terinspirasi oleh dua kisah dari orang berbeda. Nama dalam tokoh ini hanya fiktif belaka, mohon maaf jika ada kesamaan nama, hheee...
0 komentar