oleh :
NURIS
DIAN SYAH
NPM
: 093010003637
PEMBAHASAN
A.
Analisis Masalah
1.
Perencanaan kebutuhan BMN pada KPPN Surabaya I tidak
sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 226/PMK.06/2011
Pengelolaan BMN merupakan
salah satu bentuk kebijakan baru yang muncul untuk mendukung
pelaksanaan reformasi keuangan di Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun
2006 menjadi landasan hukum terkait pengelolaan BMN. Peraturan tersebut menjelaskan
bahwa perencanaan kebutuhan dan penganggaran merupakan salah satu kegiatan yang
terdapat pada pengelolaan BMN. Untuk mewujudkan efisiensi, efektifitas dan
optimalisasi perencanaan kebutuhan BMN, kementerian keuangan menerbitkan
peraturan tentang perencanaan kebutuhan BMN yaitu PMK Nomor 226/PMK.06/2011.
Berdasarkan pengamatan penulis selama melaksanakan
praktek kerja lapangan, KPPN Surabaya I masih belum menerapkan PMK Nomor
226/PMK.06/2011. Pasal 3 ayat (3) PMK Nomor 226/PMK.06/2011 menyatakan bahwa kuasa
pengguna barang berwenang dan bertanggungjawab mengajukan RKBMN dan RKTBMN
untuk lingkungan kantor yang dipimpinnya kepada pengguna barang. Di lingkungan perbendaharaan
negara kementerian keuangan, kepala KPPN merupakan kuasa pengguna barang sedangkan
kepala kanwil DJPB merupakan pengguna barang yang berada di suatu wilayah
tertentu dan direktur jenderal perbendaharaan merupakan pusat dari pengguna
barang. Oleh karena itu, kepala KPPN Surabaya I seharusnya juga memiliki
wewenang dan tanggung jawab untuk mengajukan RKBMN dan RKTBMN untuk lingkungan
KPPN Surabaya I. Akan tetapi pada faktanya, penyusunan rencana kebutuhan BMN di
KPPN Surabaya I hanya sekedar dituangkan dalam usulan belanja modal yang
digunakan sebagai dasar penyusunan RKA-K/L.
Berdasarkan wawancara yang telah penulis lakukan,
perencanaan kebutuhan BMN pada KPPN Surabaya I dilakukan dengan memperhatikan
ketersediaan BMN pada aplikasi SIMAK-BMN kemudian menganalisis kebutuhan BMN
dengan mempertimbangkan kondisi KPPN Surabaya I pada saat itu. Hasil penentuan
rencana kebutuhan BMN dicantumkan ke dalam usulan belanja modal dan diserahkan
kepada kanwil DJPB Jawa Timur yang selanjutnya akan diteruskan ke DJPB pusat.
Setelah mendapat persetujuan, usulan tersebut disampaikan kembali kepada KPPN Surabaya
I untuk dicantumkan sebagai dokumen pendukung dalam penyusunan RKA-K/L (lihat
lampiran II). Usulan belanja modal tersebut akan dijadikan bahan pertimbangan Direktorat
Jenderal Anggaran (DJA) dalam menelaah RKA-K/L. Apabila terdapat kondisi yang menyebabkan
terjadinya perubahan prioritas kebutuhan BMN, KPPN Surabaya I dapat melakukan
revisi DIPA ataupun revisi POK sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
Berbeda dengan perencanaan kebutuhan BMN yang dilaksanakan oleh KPPN
Surabaya I, PMK Nomor 226/PMK.06/2011 menjelaskan bahwa perencanaan kebutuhan
BMN dilakukan dengan menyusun RKTBMN dan RKBMN. Penyusunan
rencana kebutuhan BMN tahunan diawali dengan menyusun RKTBMN yang dilakukan
oleh setiap kuasa pengguna barang yang nantinya secara berjenjang akan
disampaikan kepada pengguna barang. Kepala KPPN Surabaya I sebagai kuasa
pengguna barang seharusnya menyusun RKTBMN dan menyampaikannya secara
berjenjang kepada kepala kanwil DJPB Jawa Timur serta diteruskan kepada
direktur jenderal perbendaharaan. Berdasarkan pengamatan penulis, KPPN Surabaya
I tidak menyusun RKTBMN melainkan menyusun rencana kebutuhan BMN dalam bentuk
usulan belanja modal yang disampaikan kepada kanwil DJPB Jawa Timur.
Berdasarkan pengamatan
penulis, KPPN Surabaya I masih berpedoman pada dasar hukum sebelum munculnya
PMK Nomor 226/PMK.06/2011. Prosedur perencanaan kebutuhan BMN secara tersirat
tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 pasal 9 yang menyatakan
bahwa perencanaan kebutuhan BMN disusun dalam RKA-K/L setelah memperhatikan
ketersediaan BMN yang ada. Pada pasal 10 disebutkan pula bahwa pengguna barang
menghimpun usul rencana kebutuhan barang yang diajukan oleh kuasa pengguna
barang yang berada dibawah lingkungannya, untuk selanjutnya oleh pengguna
barang disampaikan kepada pengelola barang. Atas dasar usulan tersebut,
pengelola barang bersama pengguna barang membahas usul tersebut dengan
memperhatikan data barang pada pengguna barang dan/atau pengelola barang untuk
ditetapkan sebagai Rencana Kebutuhan BMN (RKBMN). Hal ini menunjukkan adanya
keterkaitan antara ketentuan PP Nomor 6 Tahun 2006 dengan penerapan penyusunan
rencana kebutuhan BMN pada KPPN Surabaya I.
2.
Identifikasi
kebutuhan BMN hanya melibatkan beberapa pegawai KPPN Surabaya I
Perencanaan kebutuhan
BMN di KPPN Surabaya I dituangkan dalam bentuk usulan belanja modal yang setiap
tahunnya disampaikan kepada DJPB pusat melalui kanwil DJPB Jawa Timur. Proses
pengajuan usul belanja modal ini berawal dari diterimanya surat sekretaris
direktorat jenderal perbendaharaan dengan maksud permintaan kepada KPPN
Surabaya I untuk menyusun usulan belanja modal dua tahun ke depan. Proses
penyusunan usulan belanja modal ini dilakukan oleh subbagian umum KPPN Surabaya
I. Berdasarkan wawancara yang telah penulis lakukan, KPPN Surabaya I melakukan
penyusunan usulan belanja modal tanpa keterlibatan langsung pegawai KPPN
Surabaya I lainnya. Secara teori, suatu perencanaan seharusnya melibatkan
seluruh komponen agar tercapai tujuan bersama. Demikian pula dengan perencanaan
kebutuhan BMN, KPPN Surabaya I seharusnya melibatkan seluruh pegawai agar
kebutuhan akan belanja modal dapat tercapai sesuai prioritas kebutuhan BMN. Pendekatan
anggaran berbasis kinerja seharusnya tercipta prinsip bottom-up dalam
perencanaan kebutuhan BMN sehingga peran seluruh pegawai sangat dibutuhkan
untuk menunjang terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam pelaksanaan tupoksi
KPPN Surabaya I.
Prosedur penyusunan
rencana kebutuhan BMN dalam lingkup internal KPPN Surabaya I dilakukan dengan
menggunakan aplikasi SIMAK-BMN. Pelaksana sub bagian umum pada urusan rumah
tangga dan pelaporan meneliti ketersediaan BMN KPPN Surabaya I melalui aplikasi
SIMAK-BMN dan mengamati kebutuhan BMN sesuai dengan kondisi KPPN Surabaya I.
Kemudian pelaksana tersebut menyampaikan hasil perumusan rencana kebutuhan BMN
kepada kepala sub bagian umum yang nantinya akan diteruskan ke kepala KPPN
Surabaya I untuk mendapatkan persetujuan. Usulan rencana kebutuhan BMN yang
telah disepakati secara internal ini dituangkan dalam bentuk usulan belanja
modal dan disampaikan ke pengguna barang seperti yang telah diuraikan
sebelumnya. Berdasarkan pengamatan penulis, penyusunan rencana kebutuhan BMN
KPPN Surabaya I tidak melibatkan seluruh pegawai sub bagian umum sehingga dapat
menimbulkan suatu pandangan subjektif dalam penentuan kebutuhan BMN. Pandangan
subjektif ini akan berdampak pada perencanaan kebutuhan BMN yang kurang tepat.
Untuk memperoleh
perencanaan kebutuhan BMN yang tepat, KPPN Surabaya I memerlukan peran aktif dari
pegawai lainnya. Saran dan masukan dari berbagai pihak dapat dijadikan sebagai
referensi penting dalam penyusunan rencana kebutuhan BMN. Berdasarkan fakta
KPPN Surabaya I, keterlibatan pegawai lainnya dilakukan dengan obrolan informal
untuk menanyakan tentang saran dan masukan terhadap kebutuhan BMN. Menurut
penulis, prosedur ini belum mampu menghasilkan perencanaan kebutuhan BMN yang
tepat karena saran dan masukan tersebut masih memungkinkan terjadi pandangan subjektif
bagi pihak tertentu.
3.
KPPN
Surabaya I kurang tepat dalam menyusun usulan rencana kebutuhan BMN
Perencanaan kebutuhan
BMN merupakan kegiatan awal yang dilakukan dalam pengelolaan BMN dan sangat
berpengaruh terhadap pelaksanaan kegiatan lainnya. KPPN Surabaya I setiap tahun
selalu menyusun rencana kebutuhan BMN yang diajukan melalui usulan belanja
modal sebagai pertimbangan dalam penyusunan RKA-K/L. Berdasarkan pengamatan
penulis, KPPN Surabaya I masih belum mampu menyusun rencana kebutuhan BMN dengan
tepat. Setiap tahun KPPN Surabaya I melakukan perubahan terhadap rencana
kebutuhan BMN. Perubahan tersebut dilakukan dengan menggunakan revisi DIPA
ataupun revisi POK terkait perubahan belanja modal pada kertas kerja RKA-K/L.
KPPN Surabaya I menganggap revisi yang terjadi selama ini merupakan hal yang
wajar karena perencanaan merupakan perkiraan terhadap masa yang akan datang dan
dalam pelaksanaannya sangat dimungkinkan terjadi penyesuaian terhadap kondisi
saat ini. Menurut pendapat penulis, anggapan wajar terhadap revisi ataupun
perubahan kebutuhan BMN justru akan membentuk pola pikir yang kurang kritis
terhadap rencana kebutuhan BMN dan menimbulkan ketidaktepatan dalam penentuan
kebutuhan BMN. Ketidaktepatan ini akan menyebabkan terhambatnya pemenuhan
kebutuhan BMN akibat adanya prosedur yang cukup panjang dalam pengajuan revisi
hingga persetujuan revisi.
Tahun ini, KPPN
Surabaya I mengajukan perubahan rencana kebutuhan BMN pada revisi DIPA ketiga
dan revisi POK. Revisi DIPA ketiga dilakukan dengan mengubah belanja modal
berupa 1 unit projector menjadi 1 unit PC touchscreen dan 1 unit laptop.
Sedangkan revisi POK dilakukan dengan mengubah alokasi output pada pengadaan
inventaris pegawai baru dan penggantian inventaris pegawai lama. Menurut
penulis, revisi yang terjadi pada KPPN Surabaya I ini merupakan dampak dari
penyusunan rencana kebutuhan BMN yang kurang tepat. Pemenuhan kebutuhan BMN
berupa kegiatan pengadaan barang modal seharusnya dilaksanakan pada bulan Maret.
Akibat adanya revisi DIPA dan revisi POK, kegiatan pengadaan barang modal ini
baru tercapai pada akhir bulan Juni. Hal ini dapat menunjukkan bahwa revisi
DIPA ataupun revisi POK memang menjadi penghambat pemenuhan kebutuhan BMN KPPN
Surabaya I.
Pengusulan rencana
kebutuhan BMN KPPN Surabaya I tahun anggaran 2012 mempertimbangkan perolehan
BMN pada tahun anggaran 2011. Berdasarkan data dan fakta yang telah penulis
uraikan pada bab sebelumnya, KPPN Surabaya I memperoleh BMN dari anggaran DIPA KPPN
Surabaya I, dari anggaran DJPB pusat menggunakan SKPA, ataupun perolehan hak
pakai dari GKN I. Seluruh perolehan BMN tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan
kualitas pelayanan KPPN Surabaya I. Berdasarkan pengamatan penulis, KPPN
Surabaya I masih belum mampu meningkatkan kualitas pelayanan dan menjalankan
tupoksi secara optimal. Hal ini didasarkan pada data penilaian anggaran
berbasis kinerja pada 34 KPPN percontohan (lihat lampiran III). Data pada
lampiran III menunjukkan bahwa KPPN Surabaya I menduduki posisi terendah dan
menjadi satu-satunya KPPN percontohan yang menyandang peringkat cukup. Fakta
tersebut sangat bertentangan dengan keadaan KPPN Surabaya I yang memiliki
sarana dan prasarana memadai. Secara teori, penambahan sarana dan prasarana
berbanding lurus dengan peningkatan pelayanan dan optimalisasi pelaksanaan
tupoksi KPPN Surabaya I. Akan tetapi pada faktanya, KPPN Surabaya I justru
belum menunjukkan adanya peningkatan pelayanan yang signifikan dalam
pelaksanaan tupoksinya. Hal ini terjadi akibat adanya penyusunan rencana
kebutuhan BMN yang kurang tepat sehingga perolehan BMN KPPN Surabaya I pada
tahun anggaran 2011 lalu tidak menghasilkan manfaat yang dapat terlihat nyata
dalam peningkatan pelayanan KPPN Surabaya I pada tahun berikutnya.
4.
Penentuan usulan rencana kebutuhan BMN KPPN Surabaya I
kurang efisien
Berdasarkan
data dan fakta pada bab II, penulis mengidentifikasi beberapa permasalahan yang
muncul salah satunya yaitu penentuan usulan rencana kebutuhan BMN yang kurang
efisien. Penulis telah memaparkan secara rinci dalam bentuk tabel dan uraian
terkait perolehan BMN tahun anggaran 2011 serta usulan rencana kebutuhan BMN
tahun anggaran 2012, tahun anggaran 2013 dan tahun anggaran 2014. Pada lampiran II,
terdapat laporan barang kuasa pengguna semesteran yang mencantumkan kondisi
ketersediaan BMN pada KPPN Surabaya I. Ketersediaan BMN tersebut dapat
dijadikan dasar untuk menentukan kebutuhan BMN. Berdasarkan pengamatan penulis,
KPPN Surabaya I masih belum bisa menentukan usulan rencana kebutuhan BMN secara
efisien bila dikaitkan dengan ketersediaan BMN saat ini.
KPPN
Surabaya I memiliki P.C sejumlah 52 unit untuk kegiatan operasional pelayanan
KPPN Surabaya I. Jumlah tersebut telah ditambahkan dari hasil perolehan P.C unit
pada tahun anggaran 2011 lalu. Jika dibandingkan dengan total pegawai yang
berjumlah 51 pegawai pada tahun 2011, KPPN Surabaya I memiliki 1 P.C unit yang
idle atau menganggur. Hingga Juni 2012, pegawai aktif di KPPN Surabaya I
sejumlah 43 pegawai. Oleh karena itu, penulis dapat menemukan beberapa P.C unit
yang cenderung menganggur karena jarang digunakan oleh pegawai KPPN Surabaya I.
Hal ini dapat menimbulkan penurunan efisiensi penggunaan P.C unit di KPPN
Surabaya I. Menurut penulis, KPPN Surabaya I terkesan mengabaikan efisiensi
penggunaan P.C unit. Ketersediaan P.C unit idle tidak mendapatkan perhatian
lebih dari KPPN Surabaya I. Bahkan setiap tahun KPPN Surabaya I selalu
mengusulkan rencana kebutuhan P.C unit sebagai usulan belanja modal.
Tahun
anggaran 2012, KPPN Surabaya I menyusun usulan awal belanja modal sebanyak tiga
macam belanja modal yaitu 10 unit P.C, 10 unit printer, dan 1 unit proyektor.
KPPN Surabaya I menjelaskan bahwa usulan kebutuhan P.C unit dimaksudkan untuk
memperoleh P.C unit dengan spesifikasi yang sesuai dengan kebutuhan KPPN
Surabaya I. Saat ini beberapa P.C unit masih di bawah standar spesifikasi
kebutuhan KPPN Surabaya I. Oleh karena itu, KPPN Surabaya I mengusulkan rencana
kebutuhan P.C unit untuk menunjang pelaksanaan tupoksii KPPN Surabaya I. Usulan
kebutuhan printer dimaksudkan untuk meningkatkan kegiatan operasional pelayanan
KPPN Surabaya I terutama untuk mencetak SP2D, SKPP, kartu pegawai, SKTB dan
dokumen penting lainnya. Dengan penambahan unit printer, KPPN berharap dapat
mempercepat proses pencairan dana, meningkatkan kualitas pelayanan kepada
satuan kerja yang berada di bawah naungannya, serta mengoptimalkan pelaksanaan
tupoksi KPPN Surabaya I. Sedangkan kebutuhan projector dimaksudkan untuk
keperluan sosialisasi, seminar, ataupun pelatihan yang ditujukan untuk internal
KPPN Surabaya I ataupun eksternal yang melibatkan pihak luar KPPN Surabaya I.
Ketiga
usulan belanja modal ini disampaikan kepada DJPB pusat melalui kanwil DJPB Jawa
Timur. Hasil pembahasan antara DJPB pusat dan DJKN diperoleh informasi bahwa
usulan KPPN Surabaya I disetujui satu macam belanja modal yaitu 1 unit
projector dengan total anggaran Rp 25.000.000. Usulan tersebut dituangkan dalam
kertas kerja RKA-K/L setelah melewati proses penelaahan dari DJA. Ketika tahun
anggaran 2012 berjalan, KPPN Surabaya I melakukan perubahan kebutuhan barang
modal untuk menyesuaikan kebutuhan KPPN Surabaya I saat ini. Perubahan tersebut
melalui prosedur revisi DIPA ketiga dengan mengubah usulan kebutuhan 1 unit
projector menjadi usulan 1 unit laptop dan 1 unit P.C touchscreen dengan
alokasi anggaran tetap. KPPN menyatakan bahwa prioritas kebutuhan laptop dan
P.C touchscreen lebih diutamakan dibandingkan prioritas kebutuhan projector.
Usulan kebutuhan laptop dimaksudkan untuk menambah cadangan laptop yang
digunakan untuk kegiatan dinas ke luar kota. Sedangkn usulan P.C touchscreen
dimaksudkan untuk peningkatan fasilitas pelayanan KPPN Surabaya I sehingga satuan
kerja KPPN Surabaya I memdapatkan kemudahan untuk memperoleh informasi terkait
pelayanan dan tupoksi KPPN Surabaya I.
Menurut
penulis, kedua usulan tersebut memiliki prioritas yang sangat berbeda. Usulan
laptop masih kurang efisien dibandingkan usulan P.C touchscreen. Berdasarkan
laporan barang kuasa pengguna semesteran (lihat lampiran I), KPPN Surabaya I
memiliki 6 unit laptop dalam kondisi baik. Laptop tersebut masih layak
digunakan dan masih memadai untuk keperluan dinas ke luar kota. Oleh karena
itu, KPPN Surabaya I belum saatnya mengusulkan kebutuhan laptop untuk tahun
anggaran 2012. KPPN Surabaya sedapat mungkin agar tidak terdapat keperluana
dinas ke luar kota yang melibatkan enam
pegawai KPPN Surabaya II secara bersamaan. Hal ini diharapkan agar penggunaan
laptop menjadi optimal. Berdasarkan pengamatan penulis selama pelaksanaan PKL,
pegawai yang melaksanakan kegiatan dinas ke luar kota rata-rata per hari
sekitar dua sampai empat pegawai. Bahkan hari tertentu tidak terdapat pegawai
yang melaksanakan kegiatan dinas ke luar kota. Hal ini menunjukkan bahwa
ketersediaan laptop yang berjumlah 6 unit masih mencukupi keperluan pegawai.
KPPN Surabaya I menambahkan informasi bahwa laptop tersebut direncanakan untuk memenuhi
kebutuhan KPPN Surabaya I dalam rangka penerapan mini TLC. Mini TLC merupakan
kegiatan yang bertujuan untuk memberikan pembinaan dan pelatihan khusus bagi
satuan kerja yang membutuhkan praktek pemanfaatan teknologi informasi. Kegiatan
ini berkaitan erat dengan rencana penerapan SPAN di lingkungan perbendaharaan
sehigga satuan kerja pun dituntut untuk mengikuti perkembangan teknologi
informasi. Menurut penulis, usulan laptop masih bisa ditunda karena jumlah
laptop di KPPN Surabaya I masih berlebih. KPPN Surabaya I dapat mengoptimalkan
penggunaan laptop tersebut. Selain itu, kegiatan mini TLC masih berupa
rancangan sehingga usulan kebutuhan laptop belum menjadi prioritas utama bagi
KPPN Surabaya I. Berbeda dengan usulan laptop, penulis menganggap bahwa usulan
P.C taouchscreen sudah layak untuk dijadikan prioritas kebutuhan BMN KPPN
Surabaya I. Satuan kerja membutuhkan peningkatan fasilitas terutama untuk
kemudahan dalam mendapatkan informasi. Selama ini, satuan kerja memperoleh
informasi dari customer service ataupun
Front Office. Menurut KPPN Surabaya
I, P.C touchscreen dapat digunakan satuan kerja untuk memperoleh informasi
terbaru, mengetahui proses pencairan dana, mengoperasikan aplikasi, dan
berbagai manfaat yang ada di dalamnya. Hingga Juni 2012, KPPN Surabaya I masih
belum memberikan fasilitas P.C touchscreen bagi satuan kerja yang berkunjung.
Oleh karena itu, usulan kebutuhan P.C touchsreen memang layak untuk disampaikan
kepada DJPB pusat.
Selain
revisi DIPA, KPPN Surabaya I juga melakukan revisi POK pada tahun anggaran
2012. Revisi POK dilakukan apabila terdapat perubahan alokasi output dalam satu
kegiatan tanpa mengubah anggaran dan jumlah output kegiatan tersebut. Revisi
POK harus mendapat persetujuan dari kepala KPPN Surabaya I dan tidak memerlukan
persetujuan dari kanwil DJPB. Tahun anggaran 2012, KPPN Surabaya melakukan
revisi POK pada belanja modal dan peralatan. Belanja modal dan peralatan
terdiri dari dua detil yaitu penggantian inventaris pegawai lama dan pengadaan
inventaris pegawai baru. Sebelum revisi POK, alokasi output untuk penggantian
inventaris pegawai lama sejumlah 4 unit sedangkan pengadaan inventaris pegawai
baru sejumlah 4 unit. Hingga Juni 2012, KPPN Surabaya I menerima pegawai baru
sejumlah 1 pegawai. Hal ini menyebabkan perkiraan awal tidak sesuai dengan
fakta yang muncul di KPPN Surabaya I. Menyikapi hal tersebut, KPPN Surabaya I
mengalihkan 2 alokasi output dari pengadaan inventaris pegawai baru ke
penggantian inventaris pegawai lama. Juni 2012, KPPN Surabaya I telah melakukan
belanja modal untuk pengadaan inventaris pegawai baru berupa meja kerja pegawai
sejumlah 1 unit dan penggantian inventaris pegawai lama berupa kursi hadap
pegawai sejumlah 6 unit. Menurut penulis, usulan barang modal tersebut memang
layak diadakan karena pegawai membutuhkan BMN tersebut untuk meningkatkan
pelaksanaan tupoksi KPPN Surabaya I.
Tahun
anggaran 2013, KPPN Surabaya I menyusun usulan tiga macam belanja modal yaitu 5
unit P.C, 2 unit P.C touchscreen, dan 2 unit lemari slidding glass. Seperti yang
telah penulis bahas sebelumnya, KPPN Surabaya I selalu mengusulkan P.C unit
dalam usulan belanja modal. Usulan tersebut menjadi permasalahan yang
seharusnya diperhatikan oleh KPPN Surabaya I agar tidak menimbulkan BMN idle
yang semakin banyak. Usulan P.C touchscreen menjadi tindak lanjut dari usulan
tahun sebelumnya. Menurut penulis, P.C touchscreen layak untuk diusulkan
mengingat adanya rencana penerapan SPAN yang akan direalisasikan tahun 2012.
Sedangkan lemari slidding glass juga layak untuk diusulkan karena KPPN Surabaya
I membutuhkan lemari tersebut untuk penyimpanan dokumen penting agar lebih
tertata rapi. Oleh karena itu, usulan P.C touchscreen dan lemari slidding glass
sudah layak untuk disampaikan kepada DJPB pusat sedangkan usulan P.C unit masih
perlu dipertimbangkan oleh KPPN Surabaya I.
KPPN
Surabaya I mengajukan usulan belanja modal tahun anggaran 2014 dengan total
anggaran sejumlah Rp 505.975.000. Jumlah tersebut sangat besar dibandingkan
dengan pengusulan belanja modal tahun anggaran sebelumnya. Menurut penulis,
KPPN Surabaya I masih belum bisa melakukan efisiensi anggaran. Usulan kebutuhan
belanja modal cenderung dilebih-lebihkan dari kebutuhan yang sebenarnya
diperlukan oleh KPPN Surabaya I. Rincian usulan belanja modal tahun anggaran
2014 dapat dilihat pada lampiran II.7. Salah satu usulan belanja modal tersebut
yaitu P.C unit sejumlah 10 unit. Hal ini semakin menunjukkan bahwa KPPN
Surabaya I cenderung mengabaikan efisiensi penggunaan P.C unit. Setiap tahun
KPPN Surabaya I memunculkan usulan belanja modal yang sama berupa P.C unit.
Bahkan usulan P.C unit ditingkatkan jumlahnya menjadi 10 unit.
Selain
itu, KPPN Surabaya I juga mengajukan usul kebutuhan kendaraan dinas yang
terdiri dari kendaraan roda 4 sejumlah 1 unit dan kendaraan roda 2 sejumlah 2
unit. Berdasarkan data pada laporan barang kuasa pengguna barang semesteran
(lihat lampiran I), KPPN Surabaya I memiliki kendaraan dinas yang terdiri dari
kendaraan roda 4 sejumlah 2 unit berupa mini bus dan kendaraan roda 2 sejumlah
3 unit berupa sepeda motor. Kendaraan dinas roda 4 digunakan untuk menunjang
kegiatan KPPN mobile yang dilaksanakan secara rutin oleh KPPN Surabaya I setiap
bulan. Berdasarkan pengamatan penulis, pelaksanaan KPPN mobile masih belum
optimal. Wilayah yang menjadi target pelaksanaan KPPN Mobile merupakan wilayah
yang mudah terjangkau sehingga nilai manfaat kegiatan tersebut masih belum bisa
dirasakan secara maksimal. Oleh karena itu, KPPN Surabaya I perlu mengoptimalkan
penggunaan kendaraan roda 4 untuk memperoleh nilai manfaat yang tinggi. Menurut
penulis, usulan kebutuhan kendaraan roda 4 tahun anggaran 2014 dapat dialihkan
ke kebutuhan BMN lain yang lebih mendesak. Demikian pula dengan kendaraan roda
2, KPPN Surabaya I masih belum mengoptimalkan penggunaannya untuk menunjang
pelaksanaan tupoksi KPPN Surabaya I. Usulan kebutuhan kendaraan roda 2 perlu dipertimbangkan
oleh KPPN Surabaya I.
Pengajuan
usul kebutuhan printer dicantumkan pada tiga item yang berbeda jenisnya yaitu
Printer Dot Matrik sejumlah 3 unit, Printer Colour Laser Jet sejumlah 1 unit,
dan Printer Mono Laser Jet sejumlah 4 unit. Berdasarkan laporan barang kuasa
pengguna semesteran, terdapat 27 unit printer yang tersedia di KPPN Surabaya I.
Laporan tersebut tidak terdapat rincian jenis printer yang tersedia.
Berdasarkan pengamatan penulis, printer yang tersedia di KPPN Surabaya I
memiliki berbagai jenis printer termasuk jenis printer yang telah penulis
sebutkan pada usulan kebutuhan printer tahun anggaran 2014. Setiap seksi dan
sub bidang di KPPN Surabaya I terdapat printer lebih dari satu jenis printer. Menurut
pengamatan penulis kondisi printer tersebut masih bagus dan layak pakai. Jumlah
27 unit printer dibandingkan jumlah 43 pegawai aktif sudah cukup proporsional.
Walaupun volume kerja KPPN Surabaya I dapat dikatakan cukup tinggi dibanding
KPPN lain, penggunaan printer sejumlah 27 unit ini masih dapat menunjang
kinerja KPPN Surabaya I. Apabila dibandingkan dengan usulan kebutuhan kendaraan
dinas, usulan kebutuhan printer ini memang memiliki prioritas yang lebih
tinggi. Akan tetapi ketersediaan printer yang melebihi jumlah proporsional yang
dibutuhkan KPPN Surabaya I dapat menurunkan efisiensi penggunaan printer. Oleh
karena itu, usulan kebutuhan printer perlu dipertimbangkan oleh KPPN Surabaya I
agar tidak mengalami penurunan efisiensi penggunaaan seperti P.C unit.
KPPN
Surabaya I mengajukan usul kebutuhan kursi layanan sejumlah 15 unit dan kursi
tunggu sejumlah 6 unit. Berdasarkan pengamatan penulis saat berada di bagian
front office, tidak pernah terjadi penumpukan pengunjung yang menyebabkan
kekurangan kursi saat menunggu pelayanan KPPN Surabaya I. Sarana dan prasarana
yang tersedia di KPPN Surabaya I dapat dikatakan sudah mencukupi kebutuhan.
Menurut penulis, pengajuan usul kebutuhan kursi layanan ataupun kursi tunggu
memang diperlukan agar nantinya dapat menampung pengunjung yang diperkirakan
akan semakin bertambah sekitar dua tahun yang akan datang. Hal ini juga dapat
dikaitkan dengan adanya wacana yang menyatakan bahwa akan ada standardisasi
sarana dan prasarana di KPPN seluruh Indonesia sehingga perlu adanya usulan
kebutuhan kursi tersebut guna mendukung rencana standardisasi tersebut.
5.
Hak
pakai ruangan GKN I tidak memiliki dokumen resmi sebagai bukti perizinan
KPPN Surabaya I memperoleh hak pakai dari GKN I
berupa ruangan operasional pelayanan di lantai IV dan ruangan pertemuan di
lantai III. GKN I juga memberikan hak pakai kepada instansi lain untuk
menempati ruangan di GKN I. Instansi tersebut antara lain KPP krembangan,
kantor wilayah DJPB Jawa Timur, dan KPKNL. Selama ini sering terjadi
perpindahan ruangan antar instansi terkait dalam pelaksanaan tugas pokok dan
fungsi masing-masing.
Tahun 2012, KPPN Surabaya I memperoleh hak pakai
ruangan tambahan yang berseberangan dengan ruang operasional pelayanan yang ada
di lantai IV. Ruangan tersebut sebelumnya dikuasai oleh kanwil DJPB Jawa Timur
yang memperoleh hak pakai dari GKN I. Kanwil DJPB Jawa Timur belum mampu
mengoptimalkan penggunaan ruangan tersebut sehingga menyebabkan ruangan
cenderung idle atau menganggur. Melihat fakta tersebut, KPPN Surabaya I
mempunyai inisiatif untuk mengambil alih hak pakai ruangan tersebut. KPPN
Surabaya I mengirimkan surat kepada kepala rumah tangga GKN I perihal izin
pemakaian ruangan. Setelah menerima surat tersebut, GKN I, kanwil DJPB Jawa
Timur dan KPPN Surabaya I melakukan pembahasan terkait penggunaan ruangan di
lantai IV. Akhirnya diperoleh kesepakatan bersama untuk memindahtangankan hak
pakai ruangan di lantai IV dari kanwil DJPB Jawa Timur ke KPPN Surabaya I. Hasil
kesepakatan tersebut disampaikan secara informal. GKN I tidak menyusun dokumen
resmi terkait pemindahtanganan hak pakai ruangan. Hal inilah yang menjadi
permasalahan yang muncul dalam pengelolaan BMN di lingkungan GKN I. Selama ini
perpindahan instansi pemerintah dari suatu ruangan ke ruangan lain tidak
melalui prosedur khusus sehingga bisa meminta izin sewaktu-waktu kepada GKN I.
Setiap instansi pemerintah yang menempati ruangan di GKN I tidak memiliki
dokumen resmi terkait perizinan hak pakai ruangan. Hal ini sangat rawan terjadi
pertentangan jika muncul konflik perebutan hak pakai ruangan..
6.
Ruang
Tambahan KPPN Surabaya I Belum Memiliki Perencanaan Pasti
KPPN Surabaya I
memperoleh hak pakai ruangan tambahan dari GKN I Ruang tambahan KPPN Surabaya I
yang berada di depan ruang operasional KPPN Surabaya I hingga akhir Juni berada
dalam tahap renovasi. Dana yang digunakan berasal dari anggaran DIPA KPPN
Surabaya I yang tercantum dalam akun belanja pemeliharaan gedung kantor dengan
alokasi anggaran sebesar Rp 316.825.000 untuk luas ruangan sebesar 2755 m2 (lihat
lampiran IV). Berdasarkan data yang tercantum di kertas kerja RKA-K/L, luas
ruangan yang dijadikan dasar penentuan output berasal dari luas ruangan
operasional KPPN Surabaya I. Menanggapi hal tersebut, KPPN Surabaya membenarkan
hal tersebut dan menambahkan penjelasan bahwa pengalihan objek renovasi gedung
dan peralatan yang saat ini terjadi merupakan suatu hal yang wajar dan telah
mempertimbangkan berbagai hal terkait kegiatan renovasi ini. Menurut KPPN Surabaya
I, pengalihan anggaran untuk renovasi ruang tambahan bukan menjadi suatu
permasalahan karena digunakan untuk pemenuhan kebutuhan KPPN Surabaya I. Luas
ruang tambahan pun tidak jauh berbeda dengan luas ruang operasional.
Ruang tambahan KPPN
Surabaya I direncanakan akan digunakan untuk seksi Verifikasi dan Akuntansi
(Vera). KPPN Surabaya I menyatakan bahwa seksi Vera membutuhkan ruangan yang
lebih luas agar tercipta suasana ruang kerja yang kondusif. Saat ini seksi Vera
menempati ruangan yang sederhana bahkan cenderung kurang memadai jika
dibandingkan dengan ruangan dari seksi ataupun ruangan lainnya. Seksi Vera
memiliki banyak dokumen yang perlu disimpan. Berdasarkan pengamatan penulis,
penyimpanan dokumen seksi Vera diletakkan di tempat yang kurang layak dijadikan
tempat penyimpanan misalnya di atas meja pegawai, di kolong meja besar, di atas
meja besar, di atas lemari seksi Vera dan juga di dalam lemari Vera. Oleh
karena itu, KPPN Surabaya I mengajukan usulan ruangan tambahan yang nantinya
akan diutamakan untuk seksi Vera agar ruang kerja menjadi kondusif dan
kinerjanya lebih optimal. KPPN Surabaya I belum memiliki rencana pasti terkait
penggunaan ruangan tambahan tersebut. Apabila ruangan tersebut nantinya hanya
diperuntukkan bagi seksi Vera, menurut penulis, akan menimbulkan
ketidakefisienan dalam penggunaannya. Hal ini dapat diamati dari volume kerja
seksi Vera yang tidaklah terlalu padat jika dibandingkan dengan seksi lainnya
terutama seksi pencairan dana. Beban kerja seksi Vera paling padat pada awal
bulan sedangkan di hari-hari berikutnya cenderung lebih sedikit. Oleh karena
itu perlu pertimbangan yang lebih mendalam bagi KPPN Surabaya I dalam
merencanakan penggunaan ruangan tambahan tersebut. Jika tidak demikian, akan
menimbulkan ketidakefisienan penggunaan BMN dan juga ketidakefisienan
pengalihan anggaran renovasi gedung.
Hingga akhir masa
praktek kerja lapangan, KPPN Surabaya I masih memfokuskan pada renovasi ruangan
dan belum memiliki perencanaan lebih lanjut terkait tata ruangan, pengalihan BMN
dari ruang operasional, hingga penentuan kebijakan baru penggunaan ruangan
tambahan tersebut. KPPN Surabaya I memang belum memikirkan pola tata ruangan
tambahan karena terdapat wacana akan ada standardisasi KPPN terkait sarana dan
prasarana yang harus dipenuhi oleh KPPN termasuk dalam pola tata ruang. Hal ini
juga berkaitan dengan alasan KPPN Surabaya I yang cenderung enggan mengubah
tata ruang yang ada di bagian middle office dan back office. Sedangkan pada
front office sering dilakukan tata ruang tetapi sebatas perpindahan kursi dan
meja pelayanan KPPN Surabaya I serta kursi tunggu satker. Selain itu, belum ada
pula rencana pengalihan BMN yang akan diletakkan di ruangan tambahan. Selama
PKL berlangsung, penulis memperoleh informasi bahwa AC standing yang ada di
ruangan operasional direncanakan akan dipindahkan ke ruangan tambahan. Rencana
pengalihan ini dilakukan karena AC standing yang ada di ruang operasional KPPN
Surabaya I sudah jarang digunakan sejak adanya AC sentral yang diperoleh dari
GKN I sehingga cenderung menjadi BMN idle atau menganggur. Sedangkan pengalihan
BMN lainnya masih belum ada pertimbangan lebih lanjut.
7.
Tidak
ada pemisahan antara BMN dari pengadaan KPPN Surabaya I, dari SKPA dan dari GKN
KPPN Surabaya I telah melakukan pemenuhan kebutuhan
BMN dengan menggunakan anggaran DIPA untuk pengadaan yang dilakukan KPPN
Surabaya I, menggunakan anggaran DJPB pusat melalui SKPA dan memperoleh BMN
dari pengelola GKN. Semua hasil perolehan BMN tersebut di masukkan ke dalam
aplikasi SIMAK-BMN yang ada di KPPN Surabaya I sehingga BMN tersebut dapat
diakui secara sah menjadi milik KPPN Surabaya I. Setiap 6 bulan sekali KPPN
Surabaya I melaporkan jumlah BMN yang dimiliki melalui laporan barang kuasa
pengguna semesteran (Lampiran I). Laporan barang kuasa pengguna semesteran
mencantumkan ketersediaan BMN KPPN Surabaya I baik yang masih digunakan maupun
yang sudah tidak digunakan. Selain itu dicantumkan pula jumlah unit tiap-tiap
item BMN disertai dengan nilai BMN sehingga dapat diketahui keseluruhan nilai BMN
yang dikuasai oleh KPPN Surabaya I. Akan tetapi laporan barang tersebut tidak
mencantumkan pemisahan perolehan BMN yang berasal dari anggaran DIPA KPPN
Surabaya I, dari anggaran DJPB pusat melalui SKPA, ataupun dari perolehan GKN.
KPPN Surabaya I menambahkan bahwa pemisahan perolehan BMN juga tidak dilakukan
pada pencatatan manual ataupun pada aplikasi SIMAK-BMN. Pemisahan perolehan BMN
bisa ditunjukkan melalui jenis dokumen yang berbeda antara dokumen DIPA sebagai
dokumen hasil perolehan pengadaan KPPN Surabaya I dan dokumen SKPA sebagai
dokumen hasil perolehan dari DJPB pusat sedangkan perolehan dari GKN tidak
terdapat dokumen resmi. Menurut penulis, hal ini menjadi suatu permasalahan
yang perlu diungkapkan karena ketidakjelasan terhadap perolehan BMN akan
menimbulkan kerancuhan dalam mengamati laporan barang kuasa pengguna.
0 komentar