Proses Bisnis Penerusan Pinjaman Luar Negeri

TINJAUAN ATAS PROSES BISNIS PENERUSAN PINJAMAN LUAR NEGERI TERHADAP PERMASALAHAN  YANG MUNCUL DALAM IMPLEMENTASINYA 

  

Disusun Oleh

NURIS DIAN SYAH

093010003637

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pinjaman luar negeri merupakan unsur yang tidak terpisahkan dari proses pembiayaan pembangunan bagi Indonesia. Hal ini terjadi akibat penerimaan negara yang berasal dari sektor pajak maupun non pajak jumlahnya terbatas. Sehingga perlu adanya pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan anggaran negara salah satunya berasal dari pinjaman luar negeri. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2011, Pinjaman luar negeri merupakan setiap pembiayaan melalui utang yang diperoleh Pemerintah dari Pemberi Pinjaman Luar Negeri yang diikat oleh suatu perjanjian pinjaman dan tidak berbentuk surat berharga negara, yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu.

Dalam jangka pendek, pinjaman luar negeri sangat bermanfaat bagi negara karena dapat digunakan sebagai tambahan modal bagi pembangunan prasarana fisik. Akan tetapi, pada jangka panjang pinjaman luar negeri ini justru akan menimbulkan permasalahan terkait semakin besarnya pembayaran biaya pinjaman luar negeri yang ditanggung APBN. Pemerintah diharuskan membayar cicilan pokok pinjaman beserta biaya bunga dan biaya tambahan lainnya setiap jatuh tempo pembayaran sesuai dengan kesepakatan bersama.

Pengalokasian anggaran yang berasal dari pinjaman luar negeri dapat diteruspinjamkan untuk kegiatan proyek yang dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD),  maupun Pemerintah Daerah (Pemda). Untuk memperoleh alokasi anggaran tersebut, BUMN/BUMD/Pemda harus mengusulkan kegiatan kepada Menteri Perencanaan. Adapun dasar hukum terkait Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar negeri terdapat pada Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 2011. Setelah dilakukan penilaian dari Menteri Perencanaan dan Menteri Keuangan terkait penilaian kelayakan kegiatan, kesiapan peningkatan kegiatan hingga kelayakan pembiayaan, BUMN/BUMD/Pemda dapat memperoleh dana penerusan pinjaman luar negeri untuk melaksanakan kegiatan proyek sesuai dengan yang tercantum dalam Daftar Rencana Prioritas Pinjaman Luar Negeri (DRPPLN).  Dalam prakteknya, pelaksanaan proyek justru tidak sesuai dengan perencanaan awal sehingga hal ini menimbulkan permasalahan selama kegiatan proyek berlangsung. Permasalahan yang sering muncul berkaitan dengan bagian teknis kegiatan sehingga menghambat penyelesaian proyek.

Ketika pelaksanaan proyek terhambat, dampak yang muncul akan berpengaruh pada penarikan pinjaman luar negeri. Jumlah penarikan pinjaman sesuai dengan progres pelaksanaan proyek yang telah dilakukan BUMN/BUMD/Pemda. Oleh karena itu, apabila kegiatan proyek terhambat maka dana yang dapat ditarik semakin rendah. Selanjutnya muncul dampak lainnya yaitu terkait pembayaran pinjaman luar negeri kepada Pihak Pemberi Pinjaman (lender). Ketika jumlah penarikan pinjaman rendah maka jumlah pembayaran pinjaman akan relatif besar terutama pada pembayaran commitment fee. Commitment fee merupakan biaya yang dikenakan  untuk tetap menyediakan saldo komitmen pinjaman yang belum ditarik (undisbursed loan), commitment fee ini dikenakan setiap jatuh tempo pembayaran yang dihitung berdasarkan saldo pinjaman yang belum ditarik. Oleh karena itu, apabila penarikan rendah maka sisa pinjaman yang belum ditarik relatif besar sehingga jumlah commitment fee pun relatif besar. Tentu hal ini akan berpengaruh terhadap jumlah pembayaran pinjaman luar negeri secara keseluruhan.

Melihat besarnya dampak yang muncul akibat penerusan pinjaman luar negeri, penulis tergugah untuk menyusun karya tulis ilmiah dengan judul “TINJAUAN ATAS PROSES BISNIS PENERUSAN PINJAMAN LUAR NEGERI TERHADAP PERMASALAHAN  YANG MUNCUL DALAM IMPLEMENTASINYA”. Dengan adanya karya tulis ini diharapkan mampu menjelaskan permasalahan yang muncul akibat penerusan pinjaman luar negeri.

1.2 Tujuan Penulisan

            Tujuan dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini adalah sebagai berikut

1.      Untuk memahami kendala yang muncul dalam perundingan perjanjian luar negeri

2.    Untuk memahami kendala teknis pelaksanaan proyek yang mempengaruhi jumlah penarikan dana penerusan pinjaman luar negeri

3. Untuk memahami dampak penarikan dana penerusan pinjaman luar negeri terhadap commitment fee

1.3 Ruang lingkup

Penulis membatasi ruang lingkup karya tulis ilmiah ini pada permasalahan yang muncul pada alur penerusan pinjaman luar negeri terkait perundingan perjanjian, pelaksanaan proyek, dan pembayaran pinjaman kepada lender.

BAB II

                    TINJAUAN PUSTAKA DAN GAMBARAN UMUM

 

Tinjauan pustaka dan gambaran umum menjadi dasar bagi penulis untuk menyusun karya tulis ilmiah terutama pada bab pembahasan. Tinjauan pustaka menjadi referensi untuk menggali informasi dan mengidentifikasi permasalahan. Sedangkan Gambaran umum dapat digunakan untuk mengetahui kondisi sebenarnya yang terjadi. Berikut Tinjauan pustaka dan gambaran umum yang dapat penulis paparkan untuk memperoleh pemahaman terkait penerusan pinjaman luar negeri

2.1  Penerusan Pinjaman Luar Negeri

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menetapkan bahwa untuk membiayai dan mendukung kegiatan prioritas dalam rangka mencapai sasaran pembangunan, Pemerintah dapat mengadakan pinjaman dan/atau menerima Hibah baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri serta penerusan pinjaman atau hibah luar negeri kepada BUMN/BUMD/Pemda..

Penerusan pinjaman atau sering disebut Subsidiary Loan Agreement (SLA) pada dasarnya merupakan pinjaman yang bersumber dari pinjaman luar negeri dan diteruspinjamkan ke BUMN/BUMD/Pemda. Adapun Mekanisme penerusan pinjaman luar negeri ditunjukkan pada gambar 2.1 yang memaparkan secara terperinci terkait penerusan pinjaman luar negeri.

Gambar 2.1 Mekanisme Penerusan Pinjaman Luar Negeri

 
 

Sumber: Modul Penyuluh Perbendaharaan Manajemen Investasi Pemerintah Bab Penerusan Pinjaman/RDI/RPD

Berdasarkan gambar di atas, Pinjaman luar negeri dilakukan antara Pemerintah yang diwakili Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU) dan lender dengan melaksanakan perundingan dan penandatanganan perjanjian pinjaman luar negeri atau loan agreement (LA). Kemudian Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPB) d.h.i Direktorat Sistem Manajemen Investasi (Dit SMI) melakukan penerusan pinjaman kepada BUMN/BUMD/Pemda. Selanjutnya, Kesepakatan bersama dituangkan dalam Naskah Perjanjian Penerusan Pinjaman (NPPP).

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2011, BUMN/ BUMD/Pemda dapat memperoleh dana penerusan pinjaman luar negeri dengan mengajukan terlebih dahulu usulan kegiatan kepada Menteri Perencanaan. Setelah dilakukan penilaian kelayakan dan dituangkan dalam Daftar Rencana Pinjaman Luar Negeri Jangka Menengah (DRPLN-JM), BUMN/BUMD/Pemda harus melakukan peningkatan kesiapan kegiatan untuk rencana kegiatan yang tercantum dalam DRPLN-JM. Selanjutnya, Menteri Perencanaan melakukan penilaian kriteria kesiapan kegiatan dan menyusun Daftar Rencana Prioritas Pinjaman Luar Negeri (DRPPLN). Setelah itu dilanjutkan dengan penilaian oleh Menteri keuangan terkait kelayakan pembiayaan. Setelah usulan kegiatan dinyatakan memenuhi seluruh kriteria penilaian, BUMN/BUMD/Pemda berhak memperoleh dana penerusan pinjaman luar negeri.

Setelah itu, Direktorat SMI menyusun DIPA Penerusan Pinjaman untuk menganggarkan seluruh dana penerusan pinjaman yang direncanakan akan ditarik dalam satu tahun serta melaporkannya dalam Laporan Keuangan Kuasa Pengguna Anggaran/Pembantu BUN Bagian Anggaran 999.04. Di sisi lain, berdasarkan alokasi anggaran yang dituangkan dalam DIPA tersebut, BUMN/BUMD/Pemda selaku debitur dapat membuat perikatan dengan pihak ketiga pelaksana proyek yang dibiayai dari SLA. Setiap terjadi progress pekerjaan, debitur dapat melakukan tagihan kepada Direktorat SMI Berdasarkan dokumen yang dikirimkan oleh debitur, Direktorat SMI akan menerbitkan Surat Permintaan Membayar (SPM) kepada KPPN Khusus Pinjaman dan Hibah. Selanjutnya KPPN Khusus Pinjaman dan Hibah melakukan pencairan dana sesuai prosedur yang berlaku.

 

2.2  Pembayaran Pinjaman Luar Negeri Kepada Lender

Alokasi pembayaran didasarkan pada Naskah Perjanjian Penerusan Pinjaman Luar Negeri (NPPLN) atau subsidiary loan agreement (SLA). Secara umum pengalokasian pembayaran terlebih dahulu untuk pembayaran denda dan biaya-biaya lainnya (biaya komitmen, dll), bunga termasuk jasa bank,  dan pokok pinjaman.

Dalam hal pengaturan alokasi pembayaran tidak diatur dalam naskah perjanjian pinjaman, jika tidak ada konfirmasi dari debitur yang bersangkutan mengenai peruntukan alokasi pembayaran, maka pengalokasian dilakukan terlebih dahulu untuk denda, bunga, jasa bank, biaya lain dan pokok pinjaman.

Dana penerusan pinjaman luar negeri dapat diperoleh BUMN/ BUMD/Pemda dengan mengajukan terlebih dahulu usulan kegiatan. Setelah dinyatakan memenuhi ketentuan penilaian, BUMN/BUMD/Pemda dapat melaksanakan proyek sesuai dengan yang tercantum dalam DRPPLN. Penarikan dana pinjaman luar negeri tersebut dapat ditagihkan sesuai progress kegiatan proyek. Selanjutnya proses pembayaran pinjaman luar negeri dilakukan saat jatuh tempo pembayaran sejumlah biaya yang harus dibayarkan sesuai kesepakan dengan lender.

Penerusan pinjaman luar negeri memang sangat menarik untuk dibahas terutama terkait permasalahan yang sering muncul dalam implementasinya. Bab berikutnya akan membahas secara terperinci terkait permasalahan yang muncul dalam penerusan pinjaman luar negeri.

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dari hasil tinjauan teori dan gambaran umum pada bab sebelumnya, penulis melakukan identifikasi masalah yang muncul pada proses bisnis penerusan pinjaman luar negeri dengan membandingkan antara teori yang ada dengan kondisi yang terjadi sebenarnya. Berikut permasalahan yang dapat penulis paparkan dalam karya tulis ilmiah.

3.1  Kendala dalam Perundingan Perjanjian Pinjaman Luar Negeri

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2011, perundingan mengenai ketentuan dan persyaratan pinjaman luar negeri antara pemerintah dan calon pemberi pinjaman dilakukan setelah kriteria kesiapan kegiatan telah terpenuhi. Perundingan tersebut melibatkan Kementerian Keuangan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional / Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, serta BUMN/BUMD/Pemda yang bersangkutan. Kesepakatan dalam perundingan tersebut dituangkan dalam Perjanjian Penerusan Pinjaman Luar Negeri.

Terkait bentuk pinjaman, pemerintah menghindari adanya Perjanjian Mengikat (tied loan) karena perjanjian tersebut menghasilkan ketentuan mengikat dan dapat menimbulkan intervensi berlebihan dari lender. Ketentuan mengikat ini mencakup tiga bentuk yaitu ketentuan mengikat pada program/proyek pembangunan, ketentuan mengikat pada pengadaan barang dan jasa serta ketentuan mengikat pada negara/wilayah dimana pengadaan barang/jasa diadakan. Tied loan ini sangat membebani pemerintah karena kegiatan proyek lebih dikontrol oleh lender. Contoh praktek pinjaman mengikat ini yaitu pinjaman dari Official Development Assistant (ODA).

Oleh karena itu, saat perundingan dilaksanakan pemerintah menghindari adanya tied loan dan mengarahkannya pada perjanjian tidak mengikat (untied loan). Untied loan merupakan perjanjian yang tidak dibatasi dengan ketentuan mengikat sehingga penerima pinjaman bebas menentukan tahap pemenuhan kebutuhan proyek tanpa adanya intervensi dari lender. Adapun manfaat yang diharapkan dari pelaksanaan untied loan yaitu penggunaan dana penerusan pinjaman luar negeri dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien.

Secara teori, perundingan dilakukan setelah terpenuhinya kriteria kesiapan kegiatan yang dilakukan oleh BUMN/BUMD/Pemda selaku debitur. Akan tetapi, fakta menunjukkan bahwa sebelum dilakukannya perundingan ternyata pihak debitur telah mengetahui lender yang akan mendanai proyek yang diusulkannya. Hal ini dapat menjadi celah yang dapat dimanfaatkan untuk menyisipkan intervensi dari pihak lender.

3.2  Kendala Teknis Mempengaruhi Jumlah Penarikan Dana Penerusan Pinjaman Luar Negeri

Permasalahan selanjutnya yang muncul pada proses bisnis pinjaman luar negeri yaitu terkait kendala teknis yang dialami selama pelaksanaan proyek. Salah satunya yaitu kendala pembebasan lahan yang dialami oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PT PLN). Sesuai dengan data yang penulis peroleh pada Laporan Kinerja Pelaksanaan Pinjaman/Hibah Luar negeri, lebih dari satu proyek PT PLN memiliki kendala yang sama terkait pembebasan lahan antara lain:

-          Proyek IP-529 dan IP-539:  Tanjung Priok Access Road.

-          Proyek IP-539: North West Sumatera interconnection

-          proyek IP-532: Asahan Hydro Electric Power Plant I

Proyek IP-539 berhadapan dengan Kementerian Kehutanan terkait perizinan penggunaan lahan hutan konservasi dalam pelaksanaan proyek. Sedangkan Proyek IP-532 justru mengalami kendala khusus yang terjadi dalam proses pengadaan lahan yaitu tuntutan hukum. PT PLN menghadapi gugatan dari satu perusahaan swasta terkait penggunaan  lahan  dan  pemakaian  sumber  air. Proyek ini akhirnya berhadapan dengan Pengadilan tinggi untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Sulitnya proses  dan  jangka  waktu  yang  terlalu  lama  dalam  pembebasan  lahan dapat mengakibatkan proyek sulit diselesaikan dan mengalami perpanjangan proyek.

Kendala yang muncul tentu dapat menghambat progres pelaksanaan proyek dan akhirnya akan berdampak pula terhadap penagihan dana pinjaman luar negeri yang rendah. Hal ini terjadi karena jumlah dana yang dapat ditarik sesuai dengan progress kegiatan yang telah diselesaikan.  Selain itu, apabila terjadi perpanjangan proyek, tentu hal tersebut juga berdampak pada pembayaran biaya pinjaman luar negeri yang semakin besar. Ketika terjadi perpanjangan proyek, jangka waktu pinjaman semakin panjang dan besaran komponen biaya yang harus dibayarpun akan semakin tinggi. Nampak jelas dampak adanya kendala teknis pelaksanaan proyek terhadap jumlah pembayaran biaya pinjaman luar negeri yang harus dibayarkan oleh pemerintah kepada lender.

3.3  Alokasi Dana Penerusan Pinjaman Luar Negeri pada APBNP 2013 dan APBN 2014

Kegiatan proyek yang menggunakan dana penerusan pinjaman luar negeri dilaksanakan dengan menggunakan BA 999.04 atau Bagian Anggaran Penerusan Pinjaman. Setiap pengguna BA 999.04 harus mengelola anggaran yang diperolehnya sesuai dengan perencanaan kegiatan dan kesepakatan penggunaan dana. Alokasi anggaran penerusan pinjaman yang diterima oleh BUMN/BUMD/Pemda berdasarkan Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun anggaran 2014 dapat ditunjukkan pada tabel 3.1 di bawah ini.

 Tabel 3.1 Rincian Penerusan Pinjaman, 2013-2014 (miliar rupiah)

 

Berdasarkan tabel di atas, dana penerusan pinjaman luar negeri dialokasikan kepada 11 BUMN/BUMD/Pemda. Adapun penerima dana penerusan pinjaman terbesar diperoleh PT Perusahaan Listrik Negara sebesar Rp 5.078.9 Miliar untuk APBNP 2013 dan Rp 529,9 Miliar untuk APBN 2014. Alokasi seluruhnya yang diperoleh BUMN/BUMD/Pemda sejumlah Rp 6.699,8 Miliar untuk APBNP 2013 dan Rp. 1.226,3 Miliar untuk APBN 2014.

Setiap tahunnya, dana penerusan pinjaman luar negeri yang dialokasikan pada BUMN/BUMD/Pemda dikelola oleh direktorat SMI. Kemudian direktorat SMI menganggarkannya ke dalam DIPA Penerusan Pinjaman. Setelah melakukan perikatan dengan pihak ketiga pelaksana proyek, BUMN/BUMD/Pemda dapat melakukan tagihan sesuai dengan progress kegiatan proyek.

3.4 Dampak Penarikan Dana Penerusan Pinjaman Luar Negeri Terhadap Commitment Fee

BUMN merupakan salah satu penerima dana penerusan pinjaman luar negeri yang setiap tahunnya memperoleh alokasi anggaran yang dituangkan dalam APBN. Berikut merupakan data penarikan dana penerusan pinjaman luar negeri Triwulan II Tahun Anggaran 2013 untuk BUMN.

Tabel 3.2 Rekapitulasi Penarikan Dana Penerusan Pinjaman Luar Negeri BUMN pada triwulan II Tahun Anggaran 2013

 

Sumber: Laporan Kinerja Pelaksanaan Pinjaman/Hibah Luar Negeri Edisi Triwulan II Tahun Anggaran 2013

Berdasarkan tabel di atas, dari 27 proyek yang dilaksanakan BUMN terdapat 3 proyek yang belum dilakukan penarikan hingga periode Triwulan II Tahun Anggaran 2013. Proyek tersebut dilaksanakan oleh PT PGN (Perseroan Terbatas Perusahaan Gas Negara) dan PT SMI (Perseroan Terbatas Sarana Multi Infrastruktur). Sedangkan realisasi penarikan pada PT PERTAMINA sebesar 2,73% dan PT PLN sebesar 22,09%. Dari data tersebut, dapat disimpulkan bahwa penarikan yang dilakukan oleh BUMN relatif rendah.

Hal ini tentu berdampak besar terhadap biaya pinjaman yang dibayarkan pemerintah kepada lender terutama pembayaran commitment fee.  Commitment fee ini dikenakan setiap jatuh tempo pembayaran berdasarkan saldo penarikan yang belum ditarik (undisbursed loan). Dari data di atas, dapat kita peroleh informasi bahwa penarikan yang direalisasikan relatif rendah sehingga commitment fee yang dikenakan pun relatif tinggi. Adapun perhitungan commitent Fee dimasukkan dalam formula di bawah ini:

Berikut adalah ilustrasi perhitungan commitment fee yang dipengaruhi oleh besarnya penarikan pinjaman.

Tabel 3.3 Ilustrasi Perhitungan commitment fee pada PT ABC

TANGGAL NOTA BI	JUMLAH PENARIKAN	SISA PINJAMAN YG BELUM DITARIK	HARI BUNGA	PERHITUNGAN COMMITMENT FEE.	TANGGAL JATUH. TEMPO	JUMLAH COMMITMENT FEE PER TGL  JATUH TEMPO
15-Jan-2012	Tanggal mulai	288.140.000,00	181	1.086.527,92	15-Jul-2012	1.086.527,92
15-Jul-2012	0,00	288.140.000,00	184	1.104.536,67	15-Jan-2013	1.104.536,67
15-Jan-2013	0,00	288.140.000,00	181	1.086.527,92	15-Jul-2013	1.086.527,92
15-Jul-2013	30.180.000,00	257.960.000,00	184	988.846,67	15-Jan-2014	988.846,67
15-Jan-2014	0,00	257.960.000,00	182	978.098,33	15-Jul-2014	978.098,33

Sumber: Modul Perhitungan Kewajiban Penerusan Pinjaman Luar Negeri

Tabel di atas menunjukkan bahwa commitment fee mulai berlaku sejak tanggal 15 Januari 2012 dan pembayaran commitment fee ditetapkan dengan jatuh tempo setiap 6 bulan serta biaya komitmen sebesar 0,75%. Pada tabel diketahui bahwa PT ABC melakukan penarikan pertama pada tanggal 15 Juli 2013. Akan tetapi, commitment fee tetap dikenakan setiap jatuh tempo pembayaran sebesar sisa pinjaman yang belum ditarik. Sebagai contoh, saldo pinjaman pada tanggal 15 Juli 2012 sejumlah Rp. 288.140.000 dengan jumlah hari bunga 184 hari. Tabel menunjukkan bahwa hingga masa jatuh tempo 15 Januari 2013, PT ABC tidak melakukan tagihan sama sekali. Sehingga saldo pinjaman yang belum ditarik tetap sebesar Rp. 288.140.000. Oleh karena itu, jumlah commitment fee per jatuh tempo tanggal 15 Januari 2013 sebesar Rp. 1.086.527,92. Dengan menggunakan Formula

Berbeda kondisi dengan saat dilakukan pembayaran tagihan, tagihan dapat mengurangi jumlah sisa pinjaman yang belum ditarik sehingga jumlah commitment fee juga berkurang. Pembayaran tagihan dilakukan pada periode 15 Juli 2013 sampai 15 Januari 2014 sebesar Rp 30.180.000. Oleh karena itu, sisa pinjaman yang belum ditarik sejumlah Rp 257.960.000. Sehingga jumlah commitment fee sebesar Rp. 988.846,67. Perhitungan commitment fee tersebut adalah sebagai berikut.

Dari dua perhitungan tersebut dapat diambil simpulan bahwa penarikan pinjaman berpengaruh terhadap jumlah commitment fee. Commitment fee yang besar akan menyebabkan pembayaran biaya pinjaman luar negeri secara keseluruan juga besar. Pada akhirnya berdampak pula terhadap beban pengeluaran APBN yang ditanggung pemerintah akan semakin besar.

BAB IV

PENUTUP

            Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan, berikut ini simpulan dan saran yang dapat penulis sampaikan.

4.1 Simpulan

•   Saat ini pemerintah menghindarkan adanya tied loan dan mengarahkannya pada Untied Loan agar pelaksanaan proyek dapat dilaksanakan tanpa adanya intervensi dari pihak lender. 
•  Masih terdapat celah untuk intervensi dari lender karena pihak debitur telah mengetahui lender yang akan membiayainya sebelum dilaksanakan perundingan antara Pemerintah dan lender. 
• Kendala teknis yang terjadi pada pelaksanaan proyek dapat mengakibatkan penarikan dana penerusan pinjaman luar negeri semakin rendah 
• Penarikan dana penerusan pinjaman luar negeri yang rendah berdampak pada jumlah commitment fee yang dikenakan menjadi besar 
• Commitment fee yang besar dapat menimbulkan pembayaran biaya pinjaman luar negeri secara keseluruhan semakin besar. Pada akhirnya beban APBN yang ditanggung pemerintah pun akan semakin besar.

4.2 Saran

• Pelaksanaan proyek yang menggunakan dana penerusan pinjaman sebaiknya lebih dikontrol agar tidak ada celah yang dapat dimanfaatkan untuk memunculkan pengaruh intervensi debitur dan lender 
• Perlu adanya pengarahan dan pembinaan secara langsung kepada pihak penerima pinjaman terkait pentingnya kesiapan perencanaan kegiatan serta kesesuaian antara perencanaan yang telah ditetapkan dengan pelaksanaan kegiatan proyek. 
• Perlu adanya koordinasi antara Kementerian Keuangan, Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional serta BUMN/BUMD/Pemda terkait perundingan pinjaman luar negeri yang akan dibahas bersama lender agar proyek kegiatan yang diusulkan benar-benar siap dilaksanakan. 
• Perlu adanya perencanaan matang agar dana penerusan pinjaman luar negeri dapat dimanfaatkan secara efektif dan Efisien.

 

DAFTAR PUSTAKA

Laporan Kinerja Pelaksanaan Pinjaman/Hibah Luar Negeri Edisi Triwulan II Tahun 2013 – Kementerian Negara Perencanaan Dan Pembangunan Nasional / Badan Perencanaan Dan Pembangunan Nasional

Nota Keuangan Dan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2014 – Republik Indonesia

Modul Perhitungan Kewajiban Penerusan Pinjaman Luar Negeri – Direktorat Sistem Manajemen Investasi

Modul Penyuluh Perbendaharaan Manajemen Investasi Pemerintah Bab Penerusan Pinjaman/RDI/RPD – Direktorat Sistem Manajemen Investasi

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara

Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar negeri dan penerimaan hibah